Mahasiswa saya umumnya adalah orang Indonesia, yang terbiasa makan tahu-tempe, bermental baja berotak encer, pastilah itu akan membanggakan saya sebagai pengajarnya. Nah, saya akan sedih jika sebaliknya, yakni makannya fast-food, tetapi bermental tempe dan berotak beku seperti isi refrigerasi alias kulkas, tentu saja akan membuat saya sedih. Akan tetapi, jika ada kans untuk mau memerbaiki diri dari mahasiswa ybs., maka bagi saya itu adalah sebuah tantangan yang menggairahkan.
Beruntung saya karena pernah kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri top di Indonesia dengan tradisi yang menjungjung tinggi disiplin ilmu dan didukung oleh tingkat kejujuran dan harga diri yang luar biasa tinggi hingga saat ini. Selama tujuh tahun saya merasa ditempa di tingkat sarjana stata satu, yang mustinya cukup empat setengah taun saja. Telat kuliah? Maklumlah berangkat dari keluarga pas-pasan untuk kuliah di ibukota propinsi membuat saya musti menghidupi diri dan tanpa bantuan lagi finansial dari orangtua sejak tingkat tiga hingga menunda secara tidak resmi tugas akhirnya.
Selama itu, saya merasa ada perubahan pada diri saya. Terutama dari sisi mentalitas saya yang sebelumnya terlalu lembut atau malah ‘lembek’ untuk ukuran metropolitan. Betapa tidak, sejak masuk penjurusan, sudah terbiasa dengan ‘intimidasi’ kakak kelas melalui asistensi saat praktikum.
Selain itu, banyak dosennya yang terlampau menanggap para mahasiswa sudah pintar-pintar jadi kuliahnya bisa asal-asalan. Saat ada keperluan (bimbingan, dll.) tertentu kadang kita diminta menunggu hingga berjam-jam tanpa ada protes dari kita. Ya, bagaimana lagi karena kita yang butuh. Akan tetapi, itu semua membuat mental kita jadi tahan banting dalam segala kondisi dan dalam tekanan yang bagaimanapun kuatnya kita bisa mengatasinya. Istilahnya, ‘bukan saya kalau tidak bisa menyelesaikan persoalan itu’. Selalu saja ada solusinya, meski kadang memakan waktu lama.
Dari latar belakang itu marilah kita bandingkan dengan suasana kuliah 10 tahun terakhir ini. Periode yang penuh dengan dinamika kemajuan teknologi yang pesatnya mengikuti eksponensial. Terutama dari pesatnya tingkat konsumeritas dan entertaint, bisa membuat mahasiswa ‘lembek’ dalam perjuangannya selama menggali ilmunya. Saya termasuk paling senang juga mahasiswa saya ‘cerewet’ di kelas untuk selalu kritis menanyakan yang sedang diajarkan. Pastilah saya ‘gatal’ dan akan menyindir mahasiswa jiga tidak demikian. Apalagi kedapatan kelas yang bak kuburan. Diam seribu bahasa dan jadi pendiriam karena diapa-apain diam saja. Walah …..repot.
Suatu saat saya pernah bertanya pada sebuah kelas pelajaran saya. “Kalian kok sekarang tidak ada lagi yang mau bertanya?”, selidik saya. Setelah agak setengah saya desak, barulah ada seorang yang ‘bernyanyi’ mesti agak stres. “Pak, saya mau mengutarakan sesuatu, asal bapak tidak marah.” “Silakan, tidak apa-apa!” jawab saya. “Begini pak. Sebenarnya kami mau bertanya dari kemarin juga, cuma …”, diam sejenak menarik nafas. “Cuma, saat kami bertanya, malah bapak balik bertanya tentang pertanyaan itu. Ya, tentunya kami jadi keki, Pak.” “Weks…itu toh alasan mengapa jadi sepi dari yang bertanya.” dalam hatiku. “Wah, segitu saja, ciut nyali kalian. Kalian kan bisa menyanggah atau mencegah saya untuk tidak melakukan pertanyaan balik dengan argumen yang kuat. Ya, mungkin pertanyaan itu tak perlu dijawab alias pertanyaan saja salah.” ungkap saya. “Kalau begitu terus berlarut-larut, bisa jadi mental kalian adalah lembek seperti tempe dan mungkin juga karena otak kalian tidak digunakan sebaik-baiknya.”
Seterusnya, saya nerocos menasihati mereka,”Begini, adik-adik! “Kalian kan sedang belajar ilmu teknik. Cobalah lebih sering menggunakan logika yang kuat dan tekan perasaan yang membuat mudah tersinggung. Anggap saja sesuatu yang menyinggung perasaan itu adalah angin ribut. Salurkan perasaan anda ke hal-hal yang berfikir kreatif dan intuitif. Itu artinya kalian sedang menggunakan otak kiri dan kanan secara berimbang. Bisa kok kalian berlatih!” sambil saya keluarkan laptop yang berisi program untuk menguji seberapa kadar potensi otak orang, apakah lebih banyak menggunakan otak kiri saja, otak kanan saja atau berimbang. Saya akui, saya sendiri mendapatkan hasilnya yang tidak saya harapkan. Betapa tidak tujuh tahun digojlok kuliah bak kawah candradimuka untuk otak kiri saya, tetapi hasil test perangkat lunak itu saya lebih ke otak kanan. Artinya intuisi saya lebih kuat jika memandang suatu persoalan.
Nah, ilustrasi ini adalah pengalaman yang mungkin bisa berguna bagi para mahasiswa dan calon mahasiswa saat ini. Intinya janganlah putus asa jika menghadapi persoalan seperti tugas kuliah yang berat atau menghadapi persoalan yang rumit saat melakukan penelitian di tugas akhir. Jauhi pikiran negatif kalian untuk mencari jalan pintas yang membuat kejujuran anda tergadaikan. Pasti ada jalan. Selain itu, bertanya adalah ciri khas mahasiswa yang sehat dan ‘bergizi’. Kalian sebagai mahasiswa jaman sekarang mustinya bangga karena kita semua tahu bahwa teknologi hiburan atau entertain itu membuat daya juang mahasiswa mengendur dan cenderung malas, tetapi tetap bisa belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak tergoda untuk jadi malas belajar. Dulu, jaman saya kuliah, sumber hiburan bisa diitung jari dan kalau pun ada mahalnya bukan main seperti video game, konten Internet, dlsb. Berbahagialah mahasiswa yang bisa mencapai prestasi tinggi selama kuliahnya.
Di mata saya cuma ada tiga kategori mahasiswa. Pertama, mahasiswa yang pintar dan expert, nilainya pasti A. Kedua, golongan mahasiswa yang rajin meski kemampuannya pas-pasan, bisanya bernilai B, sisanya adalah mahasiswa ‘anak mami’ alias mahasiwa yang malas mikir. Nilai mereka paling tinggi C. Di luar ketiga golongan itu akan saya beri nilai E alias gatot(gagal total). Golongan terakhir ini akan saya cap termasuk mahasiswa tidak bakal menjadi harapan bangsa karena mereka itu pastilah pelanggar akademik (plagiat, pencontek pekerjaan orang lain dan berbuat curang saat ujian). Ya, tentunya saya tidak akan mencap begitu saja kecuali jika ada bukti yang kuat, sah, dan meyakinkan ada bukti otentiknya akan kecurangannya itu.
Viva mahasiswa jujur yang bermental baja bergizi tempe.
Discussion about this post